Kesaksian Vespa 1984
Sudah saatnya kisah ini kuceritakan kepada kalian, supaya kalian dapat lebih memahami tentang arti kasih sayang yang sesungguhnya, melalui sosok Ibu yang merupakan tokoh utama dalam kesaksianku ini.
Ketika kisah ini kutulis, usiaku sudah mencapai angka 24 tahun. Umur yang uzur bagi sebuah kendaraan bermotor. Sepanjang hidupku, aku membaktikan diri kepada sebuah keluarga kecil di ujung barat pulau Jawa. Ketika masih muda dan gagah, aku adalah partner setia bagi Ibu dari keluarga kecil tersebut, yang sangat handal berbagi peran dalam dunia kewirausahaan dan tugas beliau sebagai ibu rumah tangga.
Mari, kuperkenalkan kalian lebih mendalam kepada partner setiaku ini. Beliau adalah istri dari seorang pria yang sampai masa pensiunnya mendedikasikan dirinya pada sebuah BUMN pengolah baja nomor 1 di tanah air. Beliau adalah ibu bagi dua anak lelaki dan seorang anak perempuan yang tumbuh bersama dan menikmati indahnya masa kanak-kanak mereka. Selain itu, beliau juga berperan sebagai pemimpin bagi tiga pekerja sebuah toko kecil yang memanfaatkan garasi mobil sebagai tempat melakukan transaksi jual-beli.
Dari cerita yang kudengar, toko tersebut adalah wujud dari proses pergumulan panjang sang Ibu untuk ikut membantu sang Bapak dalam menopang sisi keuangan keluarga.
Pada awalnya, dengan malu-malu, sang Ibu merintis usaha tersebut dari balik jendela besar yang difungsikan sebagai loket warung kecilnya. Proses jual-beli dipisahkan secara fisik oleh dinding rumahnya. Tidak banyak barang-barang yang beliau jual waktu itu, mengingat keterbatasan dana yang bisa dialokasikan dari pendapatan tunggal sang Bapak. Dengan dukungan penuh dari Bapak, sang Ibu perlahan namun pasti terus mengembangkan usaha retail ini. Dan kelak di kemudian hari, toko kecil tersebut berperan besar mengantarkan ketiga anak-anak sang Ibu meraih gelar kesarjanaan dan menikmati hidup mapan selama masa studi mereka di Jogjakarta.
Melalui balik jendela, tiap pagi aku memperhatikan sang Ibu melakukan rutinitas pekerjaannya. Begitu banyak aktivitas yang harus dilakukan Ibu untuk mempersiapkan keperluan keluarganya. Bersama sang Bapak, Ibu memulai hari dengan sesi saat teduh dengan membaca Alkitab dan melakukan doa pagi. Yap… Tuhan adalah sumber kekuatan mereka untuk melakukan segala aktivitas di tiap hari. Aktivitas Ibu dilanjutkan dengan membangunkan karyawan-karyawan toko untuk bersiap-siap memulai kegiatan tokonya. Dan tak lupa, beliau meminta salah seorang untuk memberikan perawatan bagi body dan mesinku. Nikmat rasanya ketika badanku dibersihkan dari debu-debu yang semalaman menumpang tidur di badanku.
Setelah itu, sang Ibu melangkahkan kaki menuju dapur yang terletak di sisi bagian belakang rumah. Di dapur, Ibu mendelegasikan persiapan sarapan pagi bagi seluruh penghuni rumah kepada “kitchen supervisor” (awalnya posisi ini dijabat oleh Yu Sri, kemudian digantikan oleh Yu Nah, dan akhirnya dijabat permanen oleh Bibi).
Ibu melanjutkan langkahnya menuju kamar tidur ketiga anaknya. Si sulung dan si bungsu menempati satu kamar yang terpisah dengan kamar tidur saudara perempuannya.
Pada suatu masa tertentu di tahun 1980an, aktivitas pagi sang Ibu bertambah, yaitu mengantarkan si bungsu melakukan terapi di tepi pantai demi kesembuhan penyakit bronchitisnya. Dengan penuh kesabaran dan keyakinan, sang Bapak dan Ibu membawa si bungsu ke tepi pantai yang berjarak 10 km dari kediaman mereka. Sekembalinya dari pantai, aktivitas Ibu dilanjutkan dengan mempersiapkan keperluan kantor sang Bapak dan keperluan sekolah bagi anak-anaknya. Barulah setelah mereka berangkat, sang Ibu dapat menikmati sarapan pagi dengan tenang. Setelah meyegarkan diri dengan mandi pagi, sang Ibu mulai bertugas di kedai toko. Konsumen mulai berdatangan. Di hari-hari tertentu, sang Ibu secara rutin mengajak aku berbelanja di pasar. Aktivitas berbelanja tersebut akan kuceritakan lebih detil di bagian lain dari kisahku ini. Kadang kala, Ibu mengendaraiku ke sebuah Bank untuk menyetorkan hasil pendapatan tokonya.
Siang harinya, sebelum sang Bapak dan anak-anak kembali ke rumah, Ibu telah siap menyajikan beberapa hidangan makan siang di meja makan. Waktu setengah jam cukup bagi sang Ibu untuk tidur sejenak. Pukul 1.15 siang, berbarengan dengan sang Bapak kembali ke kantor, Ibu kembali bertugas di toko. Bagi beliau, tokonya adalah tempat yang tepat untuk mengaktulisasikan dirinya. Ada sukacita di setiap aktivitas yang beliau lakukan di tempat usahanya tersebut. Sang Ibu tidak keberatan apabila dipanggil dengan berbagai nama.
“Telur 1 kilo berapa,bu?”
“Minta cabe kriting 2 ons ya, tante”,
“Bu Kobus, ada rokok Gudang Garam?”,
“Beli batu batere 2 biji,mbak.” ,
“Mbakyu, kula tumbas baygon bakare setunggal nggih.” ,
“Semuanya jadi berapa, bu Hesti?”
Walaupun tak pernah mempunyai waktu untuk menikmati tayangan TV, kecuali Dunia Dalam Berita, sang Ibu bahagia dalam rutinitasnya di toko tercinta. Hari menjelang malam. Di antara kesibukannya mengelola toko, Ibu tetap menjadi tokoh utama dalam membimbing ketiga anaknya menyelesaikan PR atau sekedar mengulang pelajaran tadi pagi. Pukul 9 malam, saatnya menutup dan mengunci pintu toko. Saat itu, waktu dimana sang Ibu menghitung hasil pendapatan sambil mencocokkan dengan catatan penjualan hari ini. Dan, hari pun ditutup sang Ibu dengan melakukan saat teduh sebelum tidur.
Melelahkan bukan? Jauh lebih melelahkan dibandingkan dengan menuturkan kisah ini kepada kalian.
Sesuai dengan janjiku, aku akan mengajak kalian lebih dalam tentang aktivitas kami berbelanja ke pasar. Tiap dua kali dalam seminggu, Ibu mengendaraiku menelusuri jalanan sepanjang 7 kilometer menuju pasar. Pasar yang kotor, berbau, dan becek (walaupun ketika musim kemarau). Sang Ibu tak lupa selalu memakai sepasang sepatu bot tinggi setiap kali mengunjungi pasar. Dengan rela hati, kubiarkan alas sepatu bot mengotori badanku, karena aku tahu betapa perjuangan sang Ibu menjelajahi sudut-sudut pasar yang hiruk-pikuk, kotor, dan berbau. Kadang kala aku harus menunggu selama 3 jam sampai sang Ibu keluar dari pasar itu. Sang Ibu cukup bijak tidak menugaskan aku sebagai kendaraan pengangkut barang-barang belanjaan, beliau melimpahkan tugas tersebut kepada sebuah becak langganan. Seperti yang sudah-sudah, Ibu akan mengarahkan aku menuju ke sebuah toko langganannya di pusat kota. Letak toko tersebut hanya berjarak 1 kilometer dari sekolah dua anak-anaknya yg terkecil. Ibu kembali berbelanja keperluan tokonya di sana. Nampak sedikit lelah pada raut wajahnya, namun gurat lelah itu lenyap seiring dengan kedatangan kedua anak-anaknya. “Ayo Bu, Pulang. Capek neh,” rengek si bungsu sambil mengambil teh kotak dari rak toko. “Bah! Kau tak tahu betapa capeknya ibumu,” gumamku dalam hati. Sang Ibu pun segera menyelesaikan transaksi dengan pemilik toko, dan kamipun beramai-ramai pulang kembali ke rumah. Kedua bocah itu tak henti-hentinya berbicara sepanjang jalan, namun bagiku, perjalanan rutin ini adalah perjalanan yang menyenangkan. Sayang tidak ada kecanggihan teknologi handycam yang bisa kami gunakan untuk merekam setiap perjalanan rutin kami waktu itu.
Namun tidak semua perjalanan kami diisi hal-hal yang menyenangkan. Tercatat satu kejadian yang terekam kuat dalam ingatanku.
Di suatu siang, aku lupa tanggal tepatnya, setelah menjemput dua bocah nakal, sang Ibu mengendaraiku menuju rumah. Masih teringat ketika si bungsu meminta haknya untuk sekali-kali duduk di paling belakang,namun sang kakak perempuan menolak tegas tuntutan sang adik. Perjalanan kamipun dibisingkan oleh omelan ketidakpuasan si adik. Dengan tetap tenang, sang Ibu mengambil rute yang biasa kami lalui. Ketika berbelok memasuki daerah Sumampir, tiba-tiba roda depanku kehilangan keseimbangan. “Tumpahan oli!!”, pekikku. Tangan sang Ibu tidak cukup kuat mengendalikan gerakan stangku. Dan… BRUUUKK!! Aku tersungkur mencium aspal.
“Ya TUHANku!! Asti, Toro !! Kalian tidak apa-apa??” teriak sang Ibu menghampiri kedua anaknya dan memeluk mereka. Terlihat kepanikan di wajahnya ketika memeriksa keadaan anak-anaknya. “Puji TUHAN! kalian selamat.” ucap sang Ibu setengah berdoa. Dari posisiku, dapat kulihat beberapa tetes airmata sang Ibu jatuh mengenai kepala si bungsu. “Untung tidak ada mobil di belakang kita. Terima kasih TUHAN!”, sambung sang Ibu. Walau sempat terbesit rasa kesal karena keberadaanku untuk sementara diabaikan, aku terharu melihat betapa perhatiannya sang Ibu kepada anak-anaknya. Betapa rasa takut kehilangan terlihat jelas pada raut wajahnya. Kamipun melanjutkan perjalanan. Sepanjang jalan aku berusaha menyampaikan pesan kepada si bungsu dan kakaknya, walaupun aku tahu mereka hanya mendengar suara berisik dari knalpotku. “Kalian mempunyai Ibu yang begitu menyayangi kalian. Tolong jaga hatinya dan rawatlah beliau di masa tua” ucapku berkali-kali sepanjang perjalanan.
Demikianlah kisahku tentang sosok sang Ibu. Semoga setelah membaca kisahku ini, kalian dapat lebih menghargai jasa-jasa para ibu.
Salam hormat untuk sang Ibu Hesti Prasetyo
Vespa 1984